RENTALMOTORSEMARANG.COM – Anda tahu Sobat Wisata? Masyarakat Semarang memiliki berbagai tradisi menyambut ramadhan. Salah-satunya tradisi Dugderan untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1881, pada masa Bupati KRMT Purbaningrat.
Tepat sehari sebelum Ramadhan sebelum Tradisi menyambut Ramadhan, genderang Masjid Agung Kauman ditabuh, disusul dengan penyalaan petasan di halaman pendopo di Kanjengan. Gendang mengeluarkan bunyi “dug” dan petasan mengeluarkan bunyi “der” berulang-ulang, oleh karena itu lahirlah istilah Dugderan.
Mendengar bunyi kendang dan petasan, warga berkumpul di alun-alun depan masjid Kauman, keluar Kanjeng Bupati dan Imam Masjidil Haram untuk memberikan sambutan dan informasi, salah satunya tentang penentuan tanggal mulai bulan puasa.
Prosesi adat Dugderan ini terdiri dari tiga agenda, yaitu pameran Dugderan, prosesi ritual tanggal mulai pengumuman puasa, dan karnaval budaya Warak Ngendok. Ketiga agenda tersebut kini menjadi rangkaian acara dalam tradisi Dugderan. Warak Ngendok telah menjadi ikon baik dari tradisi Dugderan maupun kota Semarang hingga saat ini. Warak ngendok adalah hewan mitologi berupa kambing di kaki, naga di kepala, dan buraq di badan.
Warak Ngendok berasal dari dua kata, yaitu warak yang berasal dari bahasa Arab “Wara’” yang artinya suci, dan ngendok yang artinya bertelur. Kedua kata ini kemudian dimaknai sebagai siapa saja yang mempertahankan agama di bulan suci Ramadhan nanti akan mendapatkan pahala di hari Idul Fitri.
Menyambut Ramadhan 1443 H (2022), Prosesi Dugderan akan digelar pada Kamis (31/3). Pemkot Semarang akan menampilkan Animatronik Ngendog Warak yang dilengkapi dengan fitur seperti menggelengkan kepala, mengedipkan mata, menggerakkan ekor, menggerakkan mulut, bersuara, dan berjalan.
Bagaimana Tradisi Menyambut Ramadhan Di Kota Semarang?
Rute dimulai dari Balai Kota Semarang menuju Masjid Agung Kota Semarang dan berakhir di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) dari siang hingga sore hari. Dugderan merupakan tradisi masyarakat Semarang sejak tahun 1881 untuk menentukan awal Ramadhan bulan dimana puasa dimulai dalam kewajiban seorang muslim, karena ada perbedaan penentuan Ramadhan dimasa depan.
Di tadi memproses, itu pemerintah Semarang kota membuat policy pelaksanaan Dugderan tidak hanya pertunjukan yang memiliki fungsi religi,tetapi juga sebagai multiplier effect di sektor budaya, ekonomi dan pariwisata.
Tapi untuk perkembangan ini sebenarnya mengabaikan Dugderan berfungsi sebagai sebuah tanda penentu awal Ramadhan sebagai acara keagamaan, sehingga berbagai elemen masyarakat adalah ditunjuk. Pergeseran fungsi juga mempengaruhi kondisi masyarakat menjadi bingung, karena arus perbedaan muncul kembali menentukan awal Ramadhan
Kata Dugderan, yang merupakan nama upacara ini, berasal dari kata “Menggali” seperti yang dijumlahkan menjadi suara gendang yang saya pukul untuk menghasilkan suara Dug..Dug.., dan kata ”Der” Diasumsikan sebagai meriam suara dan kemudian dipanggil dengan nama
Sejarah Dugderan Sebagai Tradisi Menyambut Ramadhan
Ini terjadi pada tahun 1881 di bawah Pemerintah Kanjeng Bupati RMTAP urba ningrat itu dulu Duke. Dialah yang pertama kali memberanikan diri melakukan ritual adat Dugderan untuk menentukan di mulainya hari puasa, setelah bedug (gendang) di Masjid Agung dan meriam di halaman masing-masing kecamatan dibunyikan tiga kali.
Sebelum membunyikan drum dan meriam, mengadakan upacara yang diposting di Kecamatan. Sebelum pelaksanaan drum dan meriam terdengar di Kabupaten, telah menyiapkan variasi peralatan seperti bendera, terbungkus bunga untuk dua senjata yang akan dibunyikan, amunisi bubuk dan kertas koran peralatan meriam, serta satu set. Inilah Tradisi Menyambut Ramadhan Di Kota Semarang.
Sumber: https://ppid.semarangkota.go.id/kegiatan-di-acara-warak-ngendog-tradisi-dugderan-semarang/